Search
Search
Close this search box.
20250922_091303
Ketika Guru Hanya Dianggap Pemberi, Ini Bukan Sebuah Pembelaan

Ketika Guru Hanya Dianggap Pemberi, Ini Bukan Sebuah Pembelaan

* Kas Pani

Setiap hari, guru berdiri di depan kelas. Mereka tak hanya memberi materi pelajaran, tetapi juga energi, perhatian, dan tanpa disadari, tak jarang bagian hidup mereka pun dikorbankan.

Mereka diharapkan terus memberi, inspirasi, motivasi, bahkan dukungan moral. Tapi pernahkah kita bertanya, ketika guru terus memberi, apa yang tersisa untuk dirinya?

Memang ada ungkapan motivasi, “Dengan memberi, kita justru menerima lebih banyak. ” Dalam konteks tertentu, mungkin benar. Tapi dalam realita kehidupan guru, terutama di tengah tekanan ekonomi yang mencekik, apakah kalimat itu masih relevan? Atau jangan-jangan, itu hanya pepesan kosong yang justru dipakai untuk membungkus kelelahan dan ketidakberdayaan yang mereka rasakan?

Guru adalah manusia. Bukan mesin. Bila tenaganya terus dieksploitasi, ia bisa jatuh sakit. Bila tuntutan melebihi kapasitasnya, ia rentan stres, kelelahan mental, bahkan kehilangan gairah mengajar. Ada harga yang harus dibayar ketika ekspektasi terus ditumpuk tanpa dukungan yang memadai.

Tak sedikit guru yang akhirnya terlihat “abai ” terhadap tugasnya. Bukan karena malas atau tidak profesional, melainkan karena mereka harus membagi tenaga dan pikirannya untuk sekadar mempertahankan hidup. Di balik layar, banyak dari mereka harus mencari tambahan penghasilan, mengurus keluarga dengan anggaran pas-pasan, atau bahkan berjuang melawan rasa lelah yang tak terperi.

Lalu, siapa yang rugi?

Jawabannya jelas, dunia pendidikan. Murid-muridlah yang akhirnya menanggung akibatnya. Mereka diajar oleh guru yang kelelahan, kurang motivasi, dan mungkin sudah kehilangan semangat untuk terus berkembang. Istilah ” burnout ” bukan lagi sekadar teori, itu adalah kenyataan pahit yang terjadi di banyak ruang guru dan kelas kita.

Dan jangan lagi menjawab dengan, “Kalau mau kaya, jangan jadi guru.” Ungkapan seperti itu justru menunjukkan ketidakpedulian kita terhadap akar permasalahan. Guru tidak meminta untuk kaya raya. Mereka hanya berharap dapat hidup layak, dihargai, dan didukung agar bisa tetap fokus mendidik generasi penerus bangsa.

Kita perlu mengubah cara pandang. Guru bukanlah pemberi tanpa henti. Mereka juga perlu diisi kembali dengan apresiasi, kesejahteraan, dan dukungan sistemik yang nyata. Hanya dengan begitu, proses pendidikan dapat berjalan seimbang. Yakinlah guru yang sejahtera akan mampu memberikan yang terbaik, dan murid pun mendapat pendidikan berkualitas. Mari berhenti menjadikan pengorbanan sebagai standar. Mari mulai membangun ekosistem yang memanusiakan guru, karena masa depan bangsa ini sangat bergantung pada mereka.]]

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait